A.
Islam Dan Demokrasi
Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa
Yunani yaitu demos yang artinya
rakyat, dan kratos berarti
pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang
dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi
dapat bersifat langsung seperti yang terjadi di Yunani kuno, berupa partisipasi
langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi
tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan.
Secara etimologi demokrasi yang berasal
dari Yunani berarti “Pemerintahan oleh Rakyat”. Abraham Lincoln memberikan
pengertian demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Dengan kata lain di dalam demokrasi terdapat partisipasi rakyat luas
(publik) dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada kehidupan
bermasyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa menurut Lincoln demokrasi
adalah sebuah tatanan Negara/pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat.
Dalam Islam sendiri, tatanan
pemerintahan tidak bersumber dari manusia, akan tetapi bersumber dari Allah swt
yang tertuang dalam Al-Qur’an. Sebenarnya, Islam telah terlebih dahulu
melaksanakan demokrasi jauh sebelum adanya demokrasi Yunani. Demokrasi dalam Islam terlebih dahulu muncul
jauh sebelum demokrasi dari Yunani tercetus dan dikenal dengan istilah “syura”.
Demokrasi dalam konsep Islam tentu lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal
dari Yunani tersebut.
Menurut Prof. Dr. H. M.
Quraish Shihab, syura pada mulanya memiliki makna mengeluarkan madu dari
sarangnya. Jadi, orang-orang
demokrasi itu dipersamakan dengan lebah yang menghasilkan madu. Lebah memiliki
keistimewaan, dia tidak makan kecuali makanan yang baik. Dia tidak mengganggu
jika tidak diganggu, kalau
pun dia menyengat,
sengatannya pun dapat dijadikan sebagai obat. Hasil dari madu tersebut selalu
baik dan bermanfaat.
Itulah yang dicari, sama seperti halnya
dari syura tersebut lahirlah pendapat yang baik seperti baiknya madu. Di mana
pun kebaikan ditemukan pasti kita ambil dari syura tersebut, baik dari yang
mendengarkan pendapat maupun yang menyampaikan pendapat.
Sejarah mengungkap bahwa
secara de facto masyarakat muslimin Madinah telah tumbuh sebagai suatu
kenyataan, dan dengan sendirinya Rasulullah sebagai utusan Allah swt telah menjadi
kepala masyarakat tersebut. Undang-undang dasarnya adalah wahyu Illahi yang
tentu tidak boleh diganggu gugat, tetapi untuk pelaksanaannya diserahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan Rasulullah saw sabagai kepala dan pemimpin
masyarakat.
Urusan telah beliau tegaskan
pembagiannya, yaitu urusan agama yakni ibadah, syariat dan hukum dasar, itu
berasal dari Allah swt serta urusan yang berkenaan dengan urusan dunia misalnya
perang dan damai, menjalankan perekonomian, ternak, bertani, dan
hubungan-hubungan biasa antara manusia dengan manusia, hendaklah untuk
dimusyawarahkan. Hal ini berdasarkan kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang membahayakan) yang tentunya tetap tidak
melenceng dari syariat Islam.
Selengkapnya....